DAFTAR ISI
1. Pendahuluan…………………………………………………………………………………
1.1. Latar belakang………………………………………………………………………….
1.2. Rumusan masalah……………………………………………………………………..
1.3. Tujuan penulisan……………………………………………………………………….
2. Pembahasan……………………………………………………………………
1. Kajian mahasiswa…………………………………………………….
2. Pengertian hukum perikatan………………………………………….
3. Dasar hukum perpikatan………………………………………………
4. Wanprestasi dan akibatnya……………………………………………
5. Hapusnya hukum perikatan……………………………………………
6. Sifat,macam-macam,syarat syah hukum perikatan………………….
7. Perbedaan dan persamaan dari persetujuan
perikatan,perjanjian dan kontrak………………………………………………………………
3. Penutup………………………………………………………………………………………………
1. Kritik dan saran……………………………………………………………………..
2. Daftar pustaka……………………………………………………………………….
Ambon,22
juni 2020
KATA PENGANTAR
Puji
syukur kami ucapkan atas kehadirat Allah SWT, karena dengan rahmat dan
karunia-Nya saya masih diberi kesempatan untuk menyelesaikan tugas makalah
pribadi kali ini. Tidak lupa kami ucapkan kepada Dosen pembimbing dan
temanteman Mahasiswa/i yang telah memberikan dukungan dalam menyelesaikan
makalah ini.
Adapun
tujuan dari penulisan dari makalah ini adalah untuk memenuhi tugas dosen pada
mata kuliah aspek hukum dalam bisnis.Selain itu, makalah ini juga bertujuan
untuk menambah wawasan tentang hukum perikatan dan penjanjian bagi para pembaca
dan juga bagi penulis.
Saya
mengucapkan terima kasih kepada dosen, selaku dosen bidang aspek hukum dalam
bisnis,yang telah memberikan tugas ini sehingga dapat menambah pengetahuan dan
wawasan sesuai dengan bidang studi yang saya tekuni.
Saya
juga mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah membagi sebagian
pengetahuannya sehingga saya dapat menyelesaikan makalah ini,saya menyadari,
makalah yang saya tulis ini masih jauh dari kata sempurna. Oleh karena itu, kritik
dan saran yang membangun akan saya nantikan demi kesempurnaan makalah ini.
[Ambon,17 Desember 2020]
BAB I
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Hukum Perikatan ialah
ketentuan-ketentuan yang mengatur hak dan kewajiban subjek hukum dalam tindakan
hukum kekayaan. Hukum perdata Eropa mengenal adanya perikatan yang ditimbulkan
karena undang-undang dan perikatan yang ditimbulkan karena perjanjian.
Perikatan yang ditimbulkan karena undang-undang lazim disebut perikatan dari
undang-undang. Adanya hak dan kewajiban timbul diluar kehendak subjek hukumnya.
Perikatan ini dapat disebabkan oleh tindakan tidak melawan hukum dan tindakan
melawan hukum. Sedangkan perikatan yang ditimbulkan karena perjanjian lazim
disebut “perjanjian”, hak dan kewajiban yang timbul dikehendaki oleh
subjek-subjek hukum. Bahkan, terkadang hak dan kewajiban itu sering merupakan
tujuan dalam menjalankan tindakannya. Pasal 1338 KUHPerdata menyatakan bahwa
“Semua perjanjian yang dibuat secara sah yaitu berdasarkan syarat sahnya
perjanjian, berlaku sebagai undang – undang bagi mereka yang membuatnya”.
Maksudnya, semua perjanjian mengikat mereka yang tersangkut bagi yang
membuatnya, mempunyai hak yang oleh perjanjian itu diberikan kepadanya dan
berkewajiban melakukan hal-hal yang ditentukan dalam perjanjian. Setiap orang
dapat mengadakan perjanjian, asalkan memenuhi syarat yang ditetapkan dalam
Pasal 1320 KUHPerdata. (R. Abdoel Djamali,2005:147).
Berdasarkan uraian di atas
bahwa perikatan ada dua macam, yaitu perikatan yang lahir karena undang-undang
dan perikatan yang lahir karena perjanjian.
Rumusan Masalah
1. Bagaimanakah pengertian serta
dasar hukumnya dari hukum perikatan ?
2. Apa sajakah asas-asas, sifat
serta macam-macam dari hukum perikatan ?
3. Bagaimanakah Perbedaan dan
Persamaan dari Persetujuan, Perikatan, Perjanjian, dan Kontrak ?
Tujuan Penulisan
1. Agar kita mampu memahami
tentang seperti apa Hukum Perikatan itu ?
2. Supaya kita tahu tentang
Perbedaan dan Persamaan dari Persetujuan, Perikatan, Perjanjian, dan Kontrak ?
KAJIAN MAHASISWA
1.
Pengertian Perjanjian dan Unsur-Unsur Perjanjian Perjanjian diatur dalam Kitab
UndangUndang Hukum Perdata (KUH Perdata) Pasal 1313, bahwa perjanjian atau
persetujuan adalah suatu perbuatan dengan mana satu orang atau lebih
mengikatkan dirinya terhadap satu orang lain atau lebih. Kata persetujuan
tersebut merupakan terjemahan dari perkataan overeekomst dalam bahasa Belanda.
Kata overeekomst tersebut lazim diterjemahkan juga dengan kata perjanjian. Jadi
persetujuan dalam Pasal 1313 KUH Perdata tersebut sama artinya dengan
perjanjian. Perjanjian adalah perbuatan hukum berdasarkan kata sepakat untuk
menimbulkan suatu akibat hukum. Hal itu sependapat pula dengan Sudikno,
“perjanjian merupakan hubungan hukum antara dua pihak atau lebih berdasar kata
sepakat untuk menimbulkan suatu akibat hukum”. Dalam perkembangan doktrin ilmu
hukum dikenal adanya tiga unsur dalam Perjanjian. Unsur-unsur tersebut
diuraikan sebagai berikut :
a.
Unsur esensialia, adalah unsur yang harus ada dalam suatu perjanjian, karena
jika tidak ada unsur ini maka perjanjian tidak ada.
b.
Unsur naturalia, adalah unsur yang telah diatur dalam undang-undang, sehingga
jika tidak diatur oleh para pihak dalam perjanjian, maka undangundang yang
mengaturnya.
c.
Unsur aksidentalia, adalah unsur yang nanti ada atau mengikat para pihak jika
para pihak memperjanjikannya.
Demikian
pula klausul-kalusul lainnya yang sering ditentukan dalam perjanjian, yang
bukan merupakan unsur esensial dalam perjanjian. Azas-azas hukum perjanjian
meliputi:
1. Azas Konsensualitas,
yaitu bahwa suatu perjanjian dan perikatan yang timbul telah lahir sejak detik
tercapainya kesepakatan, selama para pihak dalam perjanjian tidak menentukan
lain. Azas ini sesuai dengan ketentuan Pasal 1320 KUH Perdata mengenai
syaratsyarat sahnya perjanjian.
2. Azas Kebebasan
Berkontrak, yaitu bahwa para pihak dalam suatu perjanjian bebas untuk
menentukan materi/isi dari perjanjian sepanjang tidak bertentangan dengan
ketertiban umum, kesusilaan dan kepatutan. Azas ini tercermin jelas dalam Pasal
1338 KUH Perdata yang menyatakan bahwa semua perjanjian yang dibuat secara sah
mengikat sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya.
2. Perjanjian Sportentertainment Antara
Manajer dan Petinju Profesional Kontrak (perjanjian) adalah suatu peristiwa dimana
seorang berjanji kepada orang lain atau dimana dua orang itu saling berjanji
untuk malaksanakan suatu hal. Pengaturan Kontrak diatur dalam Buku III
KUHPerdata, mengatur mengenai perikatan yang timbul dari perjanjian, serta
mengatur perikatan yang timbul dari undang-undang misalnya tentang perbuatan
melawan hukum. Dalam KUHPerdata terdapat aturan umum yang berlaku untuk semua
perjanjian dan aturan khusus yang berlaku hanya untuk perjanjian tertentu yang
namanya sudah diatur dalam undang-undang. Dalam perjanjian berlaku asas
kebebasan berkontrak, artinya pihak-pihak bebas untuk membuat
kontrak/perjanjian apapun, baik yang sudah ada pengaturannya maupmenentukan
sendiri isi kontrak. Buku III KUHPerdata yang menganut sistem terbuka,
berkedudukan sebagai hukum pelengkap dalam arti ketentuan-ketentuan dari Buku
III KUHPerdata tersebut berlaku apabila para pihak dalam perjanjian tidak
membaut ketentuan sendiri. Selain itu hukum perjanjian yang merupakan bagian
dari hukum perikatan dikenal suatu asas yang disebut kebebasan berkontrak, asas
ini dapat disimpulkan dari ketentuan Pasal 1338 Ayat (1) KUHPerdata yang
berbunyi: “Semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai
undang-undang bagi mereka yang membuatnya”. Dari pasal di atas dapat diartikan
bahwa yang disebut dengan asas kebebasan berkontrak adalah suatu asas dalam
hukum perjanjian yang memberikan kebebasan berkontrak adalah suatu asas dalam
hukum perjanjian yang memberikan kebebasasan seluas-luasnya kepada masyarakat
untuk mengadakan perjanjian yang berisi apa saja dan mengatur sendiri
perjanjian yang akan mengikat pembuatnya dengan pembatasan yaitu tidak
bertentangan dengan undangundang, kesusilaan, dan ketertiban umum (Pasal 1337
KUHPerdata). Aspek-aspek kebebasan berkontrak dalam pasal 1338 KUHPerdata (BW),
yang menyiratkan adanya 3 (tiga asas) yang seyogyanya dalam perjanjian: 1.
Mengenai Terjadinya Perjanjian
2.
Tentang Akibat Perjanjian
3.
Tentang Isi Perjanjianun yang belum ada pengaturannya dan bebas
Dilihat
dari Hukum Privat Perbuatan hukum dalam perjanjian merupakan
perbuatan-perbuatan untuk melaksanakan sesuatu, yaitu memperoleh seperangkat
hak dan kewajiban yang disebut prestasi. Prestasi itu meliputi
perbuatan-perbuatan: 1) Menyerahkan sesuatu, misalnya melakukan pembayaran
harga barang dalam perjanjian jual beli barang. 2) Melakukan sesuatu, misalnya
menyelesaikan pembangunan jembatan dalam perjanjian pemborongan pekerjaan. 3)
Tidak melakukan sesuatu, misalnya tidak bekerja di tempat lain selain
perusahaan tempatnya bekerja dalam perjanjian kerja. Suatu perjanjian
sedikitnya ada dua pihak yang saling memberikan kesepakatan, maka dimungkinkan
terjadi suatu interaksi antar keduanya. Selain orang-perorangan (manusia secara
biologis), para pihak dalam perjanjian bisa juga terdiri dari badan hukum.
Perseroan Terbatas (PT) merupakan badan hukum yang dapat menjadi salah satu
pihak atau keduanya dalam perjanjian. Kedua-duanya merupakan subyek hukum,
yaitu pihak-pihak yang dapat melakukan perbuatan hukum, pihak-pihak yang
mengemban hak dan kewajiban. Hubungan hukum para pihak merupakan sebuah fakta
hukum, yang dengan fakta itu kesalahpahaman dalam sengketa dapat diluruskan
bagaimana seharusnya hubungan itu dilaksanakan dan siapa yang melanggar.
Pengertian perjanjian ini mengandung unsur:
a.
Perbuatan Pemakaian kata “Perbuatan” pada rumusan tentang perjanjian ini lebih
tepat bila diganti dengan kata “perbuatan hukum”atau “tindakan hukum”, sebab
perbuatan tersebut memiliki akibat hukum bagi para pihak yang memperjanjikan.
b.
Satu orang atau lebih terhadap satu orang lain atau lebih Untuk membuat sebuah
perjanjian, paling sedikit harus ada dua pihak yang saling berhadaphadapan dan
saling memberikan pernyataan yang cocok/pas satu sama lain. Pihak tersebut
ialah orang atau badan hukum.
c.
Mengikatkan dirinya Dalam perjanjian terdapat unsur janji yang diberikan oleh
pihak yang satu kepada pihak yang lain. Dalam perjanjian ini orang terikat
kepada akibat hukum yang muncul karena kehendaknya sendiri. a) Syarat sahnya
Perjanjian Syarat sahnya perjanjian adalah syarat-syarat agar perjanjian itu
sah dan punya kekuatan mengikat secara hukum. Supaya suatu perjanjian bisa
menjadi sah dan mengikat para pihak, perjanjian mesti memenuhi syaratsyarat
seperti ditetapkan dalam Pasal 1320 KUH Perdata yaitu: 1) Syarat Subyektif
(Mengenai subyek atau para pihak) (a) Sepakat mereka yang mengikatkan dirinya
Kata “sepakat” tidak boleh dikarenakan adanya kekhilafan mengenai hakekat
barang yang menjadi pokok persetujuan atau kekhilafan mengenai diri pihak
lawannya dalam persetujuan yang dibuat terutama mengingat dirinya orang
tersebut, adanya paksaan dimana seseorang melakukan perbuatan karena takut
ancaman (Pasal 1324 BW), adanya penipuan yang tidak hanya mengenai kebohongan
tetapi juga adanya tipu muslihat (Pasal 1328 BW). Terhadap perjanjian yang
dibuat atas dasar “sepakat” berdasarkan alasanalasan tersebut, dapat diajukan
pembatalan. (b) Cakap untuk membuat perikatan Para pihak mampu membuat suatu
perjanjian. Dalam hal ini kata “mampu”adalah para pihak telah dewasa, tidak
dibawah pengawasan karena perilaku yang tidak stabil dan bukan orang-orang yang
dalam Undangundang dilarang membuat suatu perjanjian. Pasal 1330 KUH Perdata
menentukan yang tidak cakap untuk membuat perikatan: 1. Orang-orang yang belum
dewasa 2. Mereka yang ditaruh dibawah pengampuan 3. Orang-orang perempuan,
dalam hal-hal yang ditetapkan oleh Undang-undang, dan pada umumnya semua orang
kepada siapa Undang-undang telah melarang membuat perjanjian-perjanjian
tertentu. 2) Syarat obyektif a) Suatu hal tertentu Perjanjian mesti menentukan
jenis objek yang diperjanjikan. Bila tidak, maka perjanjian itu batal demi
hukum. Pasal 1332 BW menentukan hanya barang-barang yang dapat diperdagangkan
yang dapat menjadi obyek perjanjian, dan berdasarkan Pasal 1334 BW barang-barang
yang baru akan ada di kemudian hari dapat menjadi obyek perjanjian kecuali jika
dilarang oleh undang-undang secara tegas. b) Suatu sebab atau kausa yang halal
Sahnya kausa dari suatu persetujuan ditentukan pada saat perjanjian dibuat.
Perjanjian tanpa kausa yang halal ialah batal demi hukum, kecuali ditentukan
lain oleh Undang-undang.
BAB II
PEMBAHASAN
Pengertian Hukum
Perikatan
Hukum perikatan adalah adalah
suatu hubungan hukum dalam lapangan harta kekayaan antara dua orang atau lebih
di mana pihak yang satu berhak atas sesuatu dan pihak lain berkewajiban atas
sesuatu. Hubungan hukum dalam harta kekayaan ini merupakan suatu akibat hukum,
akibat hukum dari suatu perjanjian atau peristiwa hukum lain yang menimbulkan
perikatan. Dari rumusan ini dapat diketahui bahwa perikatan itu terdapat dalam
bidang hukum harta kekayaan (law of property), juga terdapat dalam bidang hukum
keluarga (family law), dalam bidang hukum waris (law of succession) serta dalam
bidang hukum pribadi(pers onal law).
Menurut ilmu pengetahuan Hukum
Perdata, pengertian perikatan adalah suatu hubungan dalam lapangan harta
kekayaan antara dua orang atau lebih dimana pihak yang satu berhak atas sesuatu
dan pihak lain berkewajiban atas sesuatu. Beberapa sarjana juga telah
memberikan pengertian mengenai perikatan. Pitlo memberikan pengertian perikatan
yaitu suatu hubungan hukum yang bersifat harta kekayaan antara dua orang atau
lebih, atas dasar mana pihak yang satu berhak (kreditur) dan pihak lain
berkewajiban (debitur) atas suatu prestasi.
Di dalam perikatan ada
perikatan untuk berbuat sesuatu dan untuk tidak berbuat sesuatu. Yang dimaksud
dengan perikatan untuk berbuat sesuatu adalah melakukan perbuatan yang sifatnya
positif, halal, tidak melanggar undang-undang dan sesuai dengan perjanjian.
Sedangkan perikatan untuk tidak berbuat sesuatu yaitu untuk tidak melakukan
perbuatan tertentu yang telah disepakati dalam perjanjian. Contohnya;
perjanjian untuk tidak mendirikan bangunan yang sangat tinggi sehingga menutupi
sinar matahari atau sebuah perjanjian agar memotong rambut tidak sampai botak
Dasar Hukum Perikatan
Sumber-sumber hukum perikatan
yang ada di Indonesia adalah perjanjian dan undang-undang, dan sumber dari
undang-undang dapat dibagi lagi menjadi undang-undang melulu dan undang-undang
dan perbuatan manusia. Sumber undang-undang dan perbuatan manusia dibagi lagi
menjadi perbuatan yang menurut hukum dan perbuatan yang melawan hukum. Dasar
hukum perikatan berdasarkan KUH Perdata terdapat tiga sumber adalah sebagai
berikut :
·
Perikatan yang timbul dari persetujuan (perjanjian).
·
Perikatan yang timbul dari undang-undang.
·
Perikatan terjadi bukan perjanjian, tetapi terjadi karena
perbuatan melanggar hukum (onrechtmatige daad) dan perwakilan sukarela
(zaakwaarneming).
Sumber perikatan berdasarkan
undang-undang :
·
Perikatan ( Pasal 1233 KUH Perdata ) : Perikatan, lahir karena
suatu persetujuan atau karena undang-undang. Perikatan ditujukan untuk
memberikan sesuatu, untuk berbuat sesuatu, atau untuk tidak berbuat sesuatu.
·
Persetujuan ( Pasal 1313 KUH Perdata ) : Suatu persetujuan adalah
suatu perbuatan dimana satu orang atau lebih mengikatkan diri terhadap satu
orang lain atau lebih.
·
Undang-undang ( Pasal 1352 KUH Perdata ) : Perikatan yang lahir
karena undang-undang timbul dari undang-undang atau dari undang-undang sebagai
akibat perbuatan orang.
Asas Asas Dalam Hukum Perikatan
Asas Kebebasan Berkontral
Asas ini mengandung pengertian
bahwa setiap orang dapat mengadakan perjanjian apapun juga, baik yang telah
diatur dalam undang-undang, maupun yang belum diatur dalam undang-undang (lihat
Pasal 1338 KUHPdt).
Asas kebebasan berkontrak dapat
dianalisis dari ketentuan Pasal 1338 ayat (1) KUHPdt, yang berbunyi: “Semua
perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka
yang membuatnya.”
Asas ini merupakan suatu asas
yang memberikan kebebasan kepada para pihak untuk:
1.
Membuat atau tidak membuat perjanjian;
2.
Mengadakan perjanjian dengan siapa pun;
3.
Menentukan isi perjanjian, pelaksanaan, dan persyaratannya;
4.
Menentukan bentuk perjanjiannya apakah tertulis atau lisan.
Latar belakang lahirnya asas
kebebasan berkontrak adalah adanya paham individualisme yang secara embrional
lahir dalam zaman Yunani, yang diteruskan oleh kaum Epicuristen dan berkembang
pesat dalam zaman renaissance melalui antara lain ajaran-ajaran Hugo de Grecht,
Thomas Hobbes, John Locke dan J.J. Rosseau. Menurut paham individualisme,
setiap orang bebas untuk memperoleh apa saja yang dikehendakinya.
Dalam hukum kontrak, asas ini
diwujudkan dalam “kebebasan berkontrak”. Teori leisbet fair in menganggap bahwa
the invisible hand akan menjamin kelangsungan jalannya persaingan bebas. Karena
pemerintah sama sekali tidak boleh mengadakan intervensi didalam kehidupan
sosial ekonomi masyarakat. Paham individualisme memberikan peluang yang luas
kepada golongan kuat ekonomi untuk menguasai golongan lemah ekonomi. Pihak yang
kuat menentukan kedudukan pihak yang lemah. Pihak yang lemah berada dalam
cengkeraman pihak yang kuat seperti yang diungkap dalam exploitation de homme
par l’homme.
Asas Konsesualisme
Asas konsensualisme dapat
disimpulkan dalam Pasal 1320 ayat (1) KUHPdt. Pada pasal tersebut ditentukan
bahwa salah satu syarat sahnya perjanjian adalah adanya kata kesepakatan antara
kedua belah pihak. Asas ini merupakan asas yang menyatakan bahwa perjanjian
pada umumnya tidak diadakan secara formal, melainkan cukup dengan adanya
kesepakatan kedua belah pihak. Kesepakatan adalah persesuaian antara kehendak
dan pernyataan yang dibuat oleh kedua belah pihak.
Asas konsensualisme muncul
diilhami dari hukum Romawi dan hukum Jerman. Didalam hukum Jerman tidak dikenal
istilah asas konsensualisme, tetapi lebih dikenal dengan sebutan perjanjian
riil dan perjanjian formal. Perjanjian riil adalah suatu perjanjian yang dibuat
dan dilaksanakan secara nyata (dalam hukum adat disebut secara kontan).
Sedangkan perjanjian formal adalah suatu perjanjian yang telah ditentukan
bentuknya, yaitu tertulis (baik berupa akta otentik maupun akta bawah tangan).
Dalam hukum Romawi dikenal
istilah contractus verbis literis dan contractus innominat. Yang artinya bahwa
terjadinya perjanjian apabila memenuhi bentuk yang telah ditetapkan. Asas konsensualisme
yang dikenal dalam KUHPdt adalah berkaitan dengan bentuk perjanjian.
Asas Kepastian Hukum
Asas kepastian hukum atau
disebut juga dengan asas pacta sunt servanda merupakan asas yang berhubungan
dengan akibat perjanjian. Asas pacta sunt servanda merupakan asas bahwa hakim
atau pihak ketiga harus menghormati substansi kontrak yang dibuat oleh para
pihak, sebagaimana layaknya sebuah undang-undang. Mereka tidak boleh melakukan
intervensi terhadap substansi kontrak yang dibuat oleh para pihak.Asas pacta
sunt servanda dapat disimpulkan dalam Pasal 1338 ayat (1) KUHPdt. Asas ini pada
mulanya dikenal dalam hukum gereja. Dalam hukum gereja itu disebutkan bahwa
terjadinya suatu perjanjian bila ada kesepakatan antar pihak yang melakukannya
dan dikuatkan dengan sumpah. Hal ini mengandung makna bahwa setiap perjanjian
yang diadakan oleh kedua pihak merupakan perbuatan yang sakral dan dikaitkan
dengan unsur keagamaan. Namun, dalam perkembangan selanjutnya asas pacta sunt
servanda diberi arti sebagai pactum, yang berarti sepakat yang tidak perlu
dikuatkan dengan sumpah dan tindakan formalitas lainnya. Sedangkan istilah
nudus pactum sudah cukup dengan kata sepakat saja.
Asas Ikitikad Baik (Good Faith)
Asas itikad baik tercantum
dalam Pasal 1338 ayat (3) KUHPdt yang berbunyi: “Perjanjian harus dilaksanakan
dengan itikad baik.” Asas ini merupakan asas bahwa para pihak, yaitu pihak
kreditur dan debitur harus melaksanakan substansi kontrak berdasarkan
kepercayaan atau keyakinan yang teguh maupun kemauan baik dari para pihak. Asas
itikad baik terbagi menjadi dua macam, yakni itikad baik nisbi (relative) dan
itikad baik mutlak.
Pada itikad yang pertama,
seseorang memperhatikan sikap dan tingkah laku yang nyata dari subjek. Pada
itikad yang kedua, penilaian terletak pada akal sehat dan keadilan serta dibuat
ukuran yang obyektif untuk menilai keadaan (penilaian tidak memihak) menurut
norma-norma yang objektif.
Asas Kepribadian (Personality)
Asas kepribadian merupakan asas
yang menentukan bahwa seseorang yang akan melakukan dan/atau membuat kontrak
hanya untuk kepentingan perseorangan saja. Hal ini dapat dilihat dalam Pasal
1315 dan Pasal 1340 KUHPdt.
Pasal 1315 KUHPdt menegaskan:
“Pada umumnya seseorang tidak dapat mengadakan perikatan atau perjanjian selain
untuk dirinya sendiri.” Inti ketentuan ini sudah jelas bahwa untuk mengadakan
suatu perjanjian, orang tersebut harus untuk kepentingan dirinya sendiri.
Wanprestasi dan
Akibatnya
Wanprestasi adalah tidak memenuhi
atau lalai melaksanakan kewajiban sebagaimana yang ditentukan dalam perjanjian
yang dibuat antara kreditur dengan debitur.
Ada empat kategori dari
wanprestasi, yaitu :
·
Tidak melakukan apa yang disanggupi akan dilakukannya.
·
Melaksanakan apa yang dijanjikannya, tetapi tidak sebagaimana yang
dijanjikan.
·
Melakukan apa yang dijanjikan tetapi terlambat.
·
Melakukan sesuatu yang menurut perjanjian tidak boleh
dilakukannya.
Akibat-akibat wanprestasi
berupa hukuman atau akibat-akibat bagi debitur yang melakukan wanprestasi,
dapat digolongkan menjadi tiga, yaitu :
Membayar kerugian yang diderita oleh kreditur (ganti rugi)
Ganti rugi sering diperinci
meliputi tiga unsur, yakni :
·
Biaya adalah segala pengeluaran atau pengongkosan yang nyata-nyata
sudah dikeluarkan oleh salah satu pihak.
·
Rugi adalah kerugian karena kerusakan barang-barang kepunyaan
kreditor yang diakibatkan oleh kelalaian si debitor.
·
Bunga adalah kerugian yang berupa kehilangan keuntungan yang sudah
dibayangkan atau dihitung oleh kreditor.
Pembatalan perjanjian atau pemecahan perjanjian
Di dalam pembatasan tuntutan
ganti rugi telah diatur dalam Pasal 1247 dan Pasal 1248 KUH Perdata.
Peralihan Resiko
Adalah kewajiban untuk memikul
kerugian jika terjadi suatu peristiwa di luar kesalahan salah satu pihak yang
menimpa barang dan menjadi objek perjanjian sesuai dengan Pasal 1237 KUH
Perdata.
·
Hapusnya Hukum Perikatan
Pasal 1381 secara tegas
menyebutkan sepuluh cara hapusnya perikatan. Cara-cara tersebut adalah:
·
Pembayaran.
·
Penawaran pembayaran tunai diikuti dengan penyimpanan atau
penitipan (konsignasi).
·
Pembaharuan utang (novasi).
·
Perjumpaan utang atau kompensasi.
·
Percampuran utang (konfusio).
·
Pembebasan utang.
·
Musnahnya barang terutang.
·
Batal/ pembatalan.
·
Berlakunya suatu syarat batal.
·
Dan lewatnya waktu (daluarsa).
Pembayaran
Pembayaran dalam arti sempit
adalah pelunasan utang oleh debitur kepada kreditur, pembayaran seperti ini
dilakukan dalam bentuk uang atau barang. Sedangkan pengertian pembayaran dalam
arti yuridis tidak hanya dalam bentuk uang, tetapi juga dalam bentuk jasa
seperti jasa dokter, tukang bedah, jasa tukang cukur atau guru privat.
konsignasi
Konsignasi terjadi apabila
seorang kreditur menolak pembayaran yang dilakukan oleh debitur, debitur dapat
melakukan penawaran pembayaran tunai atas utangnya, dan jika kreditur masih
menolak, debitur dapat menitipkan uang atau barangnya di pengadilan.
Novasi
Novasi adalah sebuah
persetujuan, dimana suatu perikatan telah dibatalkan dan sekaligus suatu
perikatan lain harus dihidupkan, yang ditempatkan di tempat yang asli. Ada tiga
macam jalan untuk melaksanakan suatu novasi atau pembaharuan utang yakni:
1.
Apabila seorang yang berutang membuat suatu perikatan utang baru
guna orang yang mengutangkannya, yang menggantikan utang yang lama yang
dihapuskan karenanya. Novasi ini disebut novasi objektif.
2.
Apabila seorang berutang baru ditunjuk untuk menggantikan orang
berutang lama, yang oleh siberpiutang dibebaskan dari perikatannya (ini
dinamakan novasi subjektif pasif).
3.
Apabila sebagai akibat suatu perjanjian baru, seorang kreditur
baru ditunjuk untuk menggantikan kreditur lama, terhadap siapa si berutang
dibebaskan dari perikatannya (novasi subjektif aktif).
Kompensasi
Yang dimaksud dengan kompensasi
adalah penghapusan masing-masing utang dengan jalan saling memperhitungkan
utang yang sudah dapat ditagih antara kreditur dan debitur.
Konfusio
Konfusio adalah percampuran
kedudukan sebagai orang yang berutang dengan kedudukan sebagai kreditur menjadi
satu. Misalnya si debitur dalam suatu testamen ditunjuk sebagai waris tunggal
oleh krediturnya, atau sidebitur kawin dengan krediturnya dalam suatu persatuan
harta kawin.
·
Sifat Hukum Perikatan
Hukum perikatan merupakan hukum
pelengkap, konsensuil, dan obligatoir. Bersifat sebagai hukum pelengkap artinya
jika para pihak membuat ketentuan masing – masing, setiap pihak dapat mengesampingkan
peraturan dalam Undang – undang.
Hukum perikatan bersifat
konsensuil artinya ketika kata sepakat telah dicapai oleh masing-masing pihak,
perjanjian tersebut bersifat mengikat dan dapat dipenuhi dengan tanggung jawab.
Sementara itu, obligatoir berarti
setiap perjanjian yang telah disepakati bersifat wajib dipenuhi dan hak milik
akan berpindah setelah dilakukan penyerahan kepada tiap – tiap pihak yang telah
bersepakat.
·
Macam Macam Hukum Perikatan
Berikut ini meruapkan beberapa
jenis hukum perikatan
1.
Perikatan bersyarat, yaitu perikatan yang pemenuhan prestasinya
dikaitkan pada syarat tertentu.
2.
Perikatan dengan ketetapan waktu, yaitu perikatan yang pemenuhan
prestasinya dikaitkan pada waktu tertentu atau dengan peristiwa tertentu yang
pasti terjadi.
3.
Perikatan tanggung menanggung atau tanggung renteng, yaitu para
pihak dalam perjanjian terdiri dari satu orang pihak yang satu dan satu orang
pihak yang lain. Akan tetapi, sering terjadi salah satu pihak atau kerdua belah
pihak terdiri dari lebih dari satu orang
·
Syarat Sah nya Hukum Perikatan
1.
Obyeknya harus tertentu
Syarat ini diperlukan hanya
terhap perikatan yang timbul dari perjanjian
1.
Obyeknya harus diperbolehkan
Artinya tidak bertentangan
dengan undang-undang, ketertiban umum
1.
Obyeknya dapat dinilai dengan uang
Sebagaimana yang telah
dijelaskan dalam pengertian perikatan
1.
Obyeknya harus mungkin.
Yaitu yang mungkin sanggup
dilaksanakan dan bukan sesuatu yang mustahil
Macam-macam perikatan :
·
Perikatan bersyarat
·
Perikatan yang digantungkan pada suatu ketetapan waktu
·
Perikatan yang membolehkan memilih
·
Perikatan tanggung menanggung
·
Perikatan yang dapat dibagi dan tidak dapat dibagi
·
Perikatan tentang penetapan hukuman
·
Perbedaan dan Persamaan dari Persetujuan, Perikatan, Perjanjian,
dan Kontrak
Untuk mengetahui perbedaan dan
persamaan persetujuan, perikatan, perjanjian dan kontrak ada baiknya kami
paparkan definisi masing-masing.
Definisi persetujuan dapat kita
temui dalam Pasal 1313 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata(“KUHPerdata”). Di dalam pasal tersebut disebutkan bahwa suatu
persetujuan adalah suatu perbuatan di mana satu orang atau lebih mengikatkan
diri terhadap satu orang lain atau lebih.
Mengenai perikatan, disebutkan
dalam Pasal
1233 KUHPerdata bahwa perikatan lahir karena suatu persetujuan atau karena
undang-undang.
Prof. Subekti, S.H. dalam bukunya “Hukum
Perjanjian” (hal. 1) membedakan pengertian antara perikatan dengan
perjanjian. Subekti menyatakan bahwa hubungan antara perikatan dan perjanjian
adalah bahwaperjanjian itu menerbitkan perikatan. Perjanjian adalah sumber
perikatan, di samping sumber-sumber lain. Suatu perjanjian juga
dinamakan persetujuan, karena dua pihak itu setuju untuk melakukan sesuatu. Demikian
menurut Subekti.
Berikut definisi Subekti
mengenai perikatan:
“Suatu perikatan adalah suatu
perhubungan hukum antara dua orang atau dua pihak, berdasarkan mana pihak yang
satu berhak menuntut sesuatu hal dari pihak yang lain, dan pihak yang lain
berkewajiban untuk memenuhi tuntutan itu.”
Adapun perjanjian didefinisikan
sebagai berikut:
“Suatu perjanjian adalah suatu
peristiwa di mana seorang berjanji kepada seorang lain atau di mana dua orang
itu saling berjanji untuk melaksanakan sesuatu hal.”
Kemudian, definisi
kontrak (contract) menurut “Black’s Law Dictionary”, diartikan sebagai
suatu perjanjian antara dua orang atau lebih yang menciptakan
kewajiban untuk berbuat atau tidak berbuat sesuatu hal yang khusus.
Selain itu, Ricardo
Simanjuntak dalam bukunya “Teknik Perancangan Kontrak Bisnis” (hal.
30-32) menyatakan bahwa kontrak merupakan bagian dari pengertian
perjanjian. Perjanjian sebagai suatu kontrak merupakan perikatan
yang mempunyai konsekuensi hukum yang mengikat para pihak yang
pelaksanaannya akan berhubungan dengan hukum kekayaan dari masing-masing pihak
yang terikat dalam perjanjian tersebut.
Jadi, dari pendapat para
sarjana hukum tersebut di atas, persamaan yang dapat kita simpulkan antara
lain:
·
persetujuan sama dengan perjanjian;
·
baik persetujuan/perjanjian, perikatan maupun kontrak melibatkan
setidaknya 2 (dua) pihak atau lebih.
·
Dasar hukum persetujuan/perjanjian, perikatan maupun kontrak,
mengacu pada KUHPerdata.
Mengenai perbedaannya, dari
definisi-definisi yang telah dipaparkan di atas, kita dapat melihat
perbedaannya adalah pada tahapan dan implikasinya.
Secara singkat, perjanjian/persetujuan
menimbulkan perikatan. Perikatan itu kemudian disebut sebagai kontrak apabila
memberikan konsekuensi hukum yang terkait dengan kekayaan dan mengikat para
pihak yang saling mengikatkan diri dalam perjanjian. Menurut Ricardo, sebelum
memiliki konsekuensi hukum, suatu perjanjian tidak sama artinya dengan kontrak.
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Jadi dapat disimpulkan, hukum
perikatan adalah sebuah hukum yang berhubungan dengan hukum antara dua orang
atau lebih didalam lapangan harta kekayaan dimana satu pihak mempunyai hak dan
pihak yang lain mempunyai kewajiban atas suatu prestasi.
Sebagaimana tercantum di dalam
UU, hukum dibuat agar manusia dapat mematuhinya dan belajar menjadi manusia
disiplin, dimana keduanya saling berperan penting dalam memajukan bangsa dan
negara.
Daftar
Pustaka
http://www.kuliahhukum.com/resume-hukum-perikatan/
https://sarahnilaayu.wordpress.com/2017/04/25/hukum-perikatan/
No comments:
Post a Comment
Note: Only a member of this blog may post a comment.