blog berisi artikel tentang pengetahuan,trendy dan inspiratif

test

Breaking

Post Top Ad

Your Ad Spot

My Blog List

Popular Posts

Saturday, December 19, 2020

kasus tentang pertanggung jawaban pelaku usaha dalam klausula baku perlindungan konsumen terhadap konsumen dari perlakuan tidak adil


Tanggung Jawab Pelaku Usaha PT. Telekomunikasi Indonesia Tbk. atas Penggunaan Perjanjian Baku Dihubungkan dengan Undang-undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen


Lahirnya undang-undang perlindungan konsumen di Indonesia telah mengatur hubungan pelaku usaha dengan konsumen dalam kedudukan yang setara /seimbang, terutama dalam hubungan perjanjian (privity of contract) antara pelaku usaha (barang atau jasa) dengan konsumen. Apabila dicermati perjanjian atau kontrak yang berlaku dibuat dalam bentuk standar (baku). Bentuk perjanjian jenis ini oleh para ahli hukum disebut sebagai kontrak standar atau perjanjian baku. Namun apakah perjanjian baku ini masih dapat dikualifikasikan sebagai suatu perjanjian yang dibuat atas kesepakatan kedua belah pihak ?. Perjanjian baku dibuat semula bertujuan untuk efisiensi dan alasan praktis. Misalnya dapat kita lihat perjanjian baku dalam perjanjian kredit perbankan, asuransi, PT.Telkom Indonesia, PDAM, PLN, dan lain sebagainya. Perjanjianperjanjian tersebut adalah perjanjian baku yang dilakukan antara pelaku usaha dan konsumen.

Dalam praktik jual beli tidak tertulis selalu dijumpai dalam dokumen jual beli, misalnya “Faktur”, klausula yang berbunyi “ barang yang sudah dibeli tidak boleh dikembalikan“. Ini dapat dipahami bahwa jika barang yang dibeli dikembalikan berarti pembatalan jual beli, sehingga penjual harus mengembalikan harga pembelian. Hal ini akan merugikan penjual tetapi jika ada alasan, seperti barangnya cacat, rusak, bukan karena kesalahan pembeli, biasanya barang itu dapat ditukar dengan barang lain yang sama (Muhamad, 1992a). Contoh lain adalah ketentuan dari Perusahaan Photo, antara lain : “Film yang tidak diambil dalam waktu 2 bulan, kami tidak bertanggungjawab atas kehilangan/kerusakannya “, “semua hasil cetakan/cuci di luar tanggung jawab kami “, dsbnya. Berkenaan dengan banyaknya digunakan perjanjian-perjanjian baku di dunia bisnis ialah masalah yang berkaitan dengan pencantuman klausul atau ketentuan yang secara tidak wajar memberatkan bagi pihak lainnya. Diantara kausul-kalusul yang dinilai sebagai klausul yang memberatkan dan yang banyak muncul dalam perjanjian-perjanjian baku adalah yang disebut klausul eksemsi. Untuk istilah klausul eksemsi ini Badrulzaman (1981) menggunakan istilah klausul eksonerasi sebagai terjemahan dari istilah Bahasa Belanda exoneratie clausule. Menurut Sjahdeini (1993), klausul eksemsi adalah klausul yang bertujuan untuk membebaskan atau membatasi tanggung jawab salah satu pihak terhadap gugatan pihak lainnya dalam hal yang bersangkutan tidak atau tidak dengan semestinya melaksanakan kewajibannya yang ditentukan di dalam perjanjian tersebut. Demikian pula ketentuan berupa klausul baku yang terdapat dalam Kontrak Berlangganan Sambungan Telekomunikasi yang berbunyi: “………, maka TELKOM berhak memutuskan/membatalkan Kontrak ini secara sepihak” (Pasal 2 angka 3 Kontrak Berlangganan Sambungan Telekomunikasi/ KBST). Keadaan ketidakseimbangan pengaturan hak dan kewajiban antara pelaku usaha dan konsumen dalam kontrak tersebut di atas, oleh UUPK diatur dalam Pasal 18. Pasal ini pada dasarnya melarang pencantuman exoneration clauses yang berbentuk klausula baku di dalam suatu perjanjian standar. Selanjutnya, Pasal 18 ayat (1) UUPK menyatakan pelaku usaha dalam menawarkan barang dan atau jasa yang ditujukan untuk diperdagangkan dilarang memuat atau mencantumkan klausula baku pada setiap dokumen dan atau perjanjian. Pasal 18 ayat (2) UUPK menjelaskan bahwa pelaku usaha dilarang mencantumkan klausula baku yang letak atau bentuknya sulit terlihat atau tidak dapat dibaca secara jelas, atau yang pengungkapannya sulit dimengerti. Apabila pelaku usaha masih mencantumkan klausula baku dengan isi, letak, bentuk seperti yang termuat dalam Pasal 18 ayat (1) UUPK ini, maka pelaku usaha dapat dikenakan sanksi perdata dan juga sanksi pidana. Tindakan Hukum yang Dilakukan Konsumen atas Pelanggaran Pencantuman Klausula Baku oleh Pelaku Usaha Dalam hal pelaku usaha melanggar ketentuan pencantuman klausula baku dengan isi, letak, atau bentuk seperti telah diuraikan di atas dalam dokumen atau perjanjian standar (baku) yang dibuatnya, dapat dikenakan sanksi sebagai berikut: Sanksi Perdata:

a. perjanjian standar yang dibuatnya jika digugat oleh konsumen akan berakibat batal demi hukum (void), lihat Pasal 18 ayat 3 UUPK;

b. pelaku usaha yang pada saat ini telah mencantumkan klausula baku, wajib merevisi perjanjian standar yang digunakannya itu agar sesuai dengan UUPK, dengan batas waktu sampai tanggal 20 April 1999 (Pasal 18 ayat 4). Sanksi Pidana Dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun atau pidana paling banyak Rp.2.000.000.000,00 (dua milyar rupiah) . Lihat Pasal 62 ayat 1 . Selain berlaku ketentuan-ketentuan dari UUPK seperti diuraikan di atas, karena perjanjian baku (standar) pada dasarnya adalah juga perjanjian, maka ketentuan di dalam Buku III KUH.Perdata masih tetap berlaku. Ketentuan-ketentuan yang penting antara lain:

a. Ketentuan tentang keabsahan suatu perjanjian sebagaimana diatur di dalam Pasal 1320 KUH.Perdata 

b. Ketentuan-ketentuan tentang kerugian akibat breach of contract/non performance atau wanprestasi , sebagaimana diatur oleh Pasal 1243 KUH.Perdata

c. Ketentuan –ketentuan tentang mengikatnya sebuah perjanjian, perjanjian tidak dapat ditarik kembali dan harus dilaksanakan dengan itikad baik. Selanjutnya, berdasarkan Pasal 45, Pasal 47 dan Pasal 48 serta di dalam Penjelasannya, konsumen yang merasa dirugikan dapat melakukan tindakan hukum melalui :

1. Penyelesaian sengketa di luar Pengadilan , yakni dengan cara-cara :

a. damai di antara kedua belah pihak ; Para pihak yang bersengketa pada setiap tahap diusahakan untuk menggunakan penyelesaian damai yang dilakukan oleh para pihak yang bersengketa (pelaku usaha dan konsumen) untuk mencapai kesepakatan mengenai bentuk dan besarnya ganti rugi tanpa melalui pengadilan atau Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK).

b. melalui Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK) sebagai pengawas terhadap pencantuman klausula baku, yakni mediasi, atau konsiliasi atau konsiliasi .

2 . Penyelesaian melalui pengadilan Penyelesaian sengketa konsumen melalui pengadilan mengacu pada ketentuan tentang peradilan umum yang berlaku dengan memperhatikan ketentuan dalam Pasal 45. Setelah berlakunya Undang-undang Telekomunikasi yang baru dan Undangundang Perlindungan Konsumen, mengandung asas pembuktian terbalik dan prinsip strict liability dapat membantu konsumen dalam menuntut ganti kerugian dari PT. TELKOM sebagai penyelenggara jasa telekomunikasi. Tanggungjawab Pelaku Usaha Atas Kerugian Konsumen yang Disebabkan Penggunaan Perjanjian Baku Tanggung jawab pelaku usaha untuk memberi ganti kerugian terhadap konsumen muncul karena adanya pelanggaran dari kewajibannya atau pelanggaran terhadap larangan-larangan yang berlaku baginya, sebagaimana telah diatur oleh Kitab Undang-undang Hukum Perdata, Undang-undang Perlindungan Konsumen dan Undang-undang Telekomunikasi. Sebenarnya pelanggaran atau kesalahan yang menimbulkan kerugian dapat dilakukan oleh kedua belah pihak, baik konsumen sebagai Pelanggan maupun oleh PT.TELKOM sebagai pelaku usaha, namun dalam tulisan ini akan difokuskan pada kesalahan atau pelanggaran yang dilakukan pihak pelaku usaha (PT.TELKOM.Tbk.), baik yang disengaja maupun tidak karena Pelanggan sering dalam posisi yang lemah. Undang-undang Telekomunikasi mengatur tentang tanggung jawab penyelenggara telekomunikasi, dalam Pasal 15 ayat (1) menyebutkan bahwa: “Atas kesalahan dan atau kelalaian penyelenggara telekomunikasi yang menimbulkan kerugian, maka pihak-pihak yang dirugikan berhak mengajukan tuntutan ganti rugi kepada penyelenggara telekomunikasi”

Penjelasan Pasal 15 ayat (1) menegaskan bahwa: “Ganti rugi oleh penyelenggara telekomunikasi diberikan kepada pengguna atau masyarakat luas yang dirugikan karena kelalaian atau kesalahan penyelenggara telekomunikasi”

Selanjutnya, Pasal 15 ayat (2) Undang-undang Telekomunikasi menyatakan bahwa: “Penyelenggara telekomunikasi wajib memberikan ganti rugi sebagaimana dimaksud pada ayat (1), kecuali penyelenggara telekomunikasi dapat membuktikan bahwa kerugian tersebut bukan diakibatkan oleh kesalahannya atau kelalaiannya;

Berdasarkan Pasal 15 ayat (2) tersebut di atas, konsumen tidak perlu membuktikan kesalahan pelaku usaha, tetapi justru PT.TELKOM sebagai pelaku usaha diberi kesempatan untuk dapat membuktikan bahwa dirinya tidak bersalah. Ketentuan Pasal 15 ayat (1) dan ayat (2) Undang-undang Telekomunikasi menganut prinsip tanggung jawab mutlak.

No comments:

Post a Comment

Note: Only a member of this blog may post a comment.

Post Top Ad

Your Ad Spot

welcome to my world