Tanggung Jawab Pelaku Usaha PT. Telekomunikasi Indonesia Tbk. atas Penggunaan Perjanjian Baku Dihubungkan dengan Undang-undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen
Lahirnya undang-undang perlindungan konsumen di Indonesia telah mengatur hubungan pelaku usaha dengan konsumen dalam kedudukan yang setara /seimbang, terutama dalam hubungan perjanjian (privity of contract) antara pelaku usaha (barang atau jasa) dengan konsumen. Apabila dicermati perjanjian atau kontrak yang berlaku dibuat dalam bentuk standar (baku). Bentuk perjanjian jenis ini oleh para ahli hukum disebut sebagai kontrak standar atau perjanjian baku. Namun apakah perjanjian baku ini masih dapat dikualifikasikan sebagai suatu perjanjian yang dibuat atas kesepakatan kedua belah pihak ?. Perjanjian baku dibuat semula bertujuan untuk efisiensi dan alasan praktis. Misalnya dapat kita lihat perjanjian baku dalam perjanjian kredit perbankan, asuransi, PT.Telkom Indonesia, PDAM, PLN, dan lain sebagainya. Perjanjianperjanjian tersebut adalah perjanjian baku yang dilakukan antara pelaku usaha dan konsumen.
Dalam praktik jual beli
tidak tertulis selalu dijumpai dalam dokumen jual beli, misalnya “Faktur”,
klausula yang berbunyi “ barang yang sudah dibeli tidak boleh dikembalikan“.
Ini dapat dipahami bahwa jika barang yang dibeli dikembalikan berarti
pembatalan jual beli, sehingga penjual harus mengembalikan harga pembelian. Hal
ini akan merugikan penjual tetapi jika ada alasan, seperti barangnya cacat,
rusak, bukan karena kesalahan pembeli, biasanya barang itu dapat ditukar dengan
barang lain yang sama (Muhamad, 1992a). Contoh lain adalah ketentuan dari
Perusahaan Photo, antara lain : “Film yang tidak diambil dalam waktu 2 bulan,
kami tidak bertanggungjawab atas kehilangan/kerusakannya “, “semua hasil
cetakan/cuci di luar tanggung jawab kami “, dsbnya. Berkenaan dengan banyaknya
digunakan perjanjian-perjanjian baku di dunia bisnis ialah masalah yang
berkaitan dengan pencantuman klausul atau ketentuan yang secara tidak wajar
memberatkan bagi pihak lainnya. Diantara kausul-kalusul yang dinilai sebagai
klausul yang memberatkan dan yang banyak muncul dalam perjanjian-perjanjian
baku adalah yang disebut klausul eksemsi. Untuk istilah klausul eksemsi ini
Badrulzaman (1981) menggunakan istilah klausul eksonerasi sebagai terjemahan
dari istilah Bahasa Belanda exoneratie clausule. Menurut Sjahdeini (1993),
klausul eksemsi adalah klausul yang bertujuan untuk membebaskan atau membatasi
tanggung jawab salah satu pihak terhadap gugatan pihak lainnya dalam hal yang
bersangkutan tidak atau tidak dengan semestinya melaksanakan kewajibannya yang
ditentukan di dalam perjanjian tersebut. Demikian pula ketentuan berupa klausul
baku yang terdapat dalam Kontrak Berlangganan Sambungan Telekomunikasi yang
berbunyi: “………, maka TELKOM berhak memutuskan/membatalkan Kontrak ini secara
sepihak” (Pasal 2 angka 3 Kontrak Berlangganan Sambungan Telekomunikasi/ KBST).
Keadaan ketidakseimbangan pengaturan hak dan kewajiban antara pelaku usaha dan
konsumen dalam kontrak tersebut di atas, oleh UUPK diatur dalam Pasal 18. Pasal
ini pada dasarnya melarang pencantuman exoneration clauses yang berbentuk
klausula baku di dalam suatu perjanjian standar. Selanjutnya, Pasal 18 ayat (1)
UUPK menyatakan pelaku usaha dalam menawarkan barang dan atau jasa yang
ditujukan untuk diperdagangkan dilarang memuat atau mencantumkan klausula baku
pada setiap dokumen dan atau perjanjian. Pasal 18 ayat (2) UUPK menjelaskan
bahwa pelaku usaha dilarang mencantumkan klausula baku yang letak atau
bentuknya sulit terlihat atau tidak dapat dibaca secara jelas, atau yang
pengungkapannya sulit dimengerti. Apabila pelaku usaha masih mencantumkan
klausula baku dengan isi, letak, bentuk seperti yang termuat dalam Pasal 18
ayat (1) UUPK ini, maka pelaku usaha dapat dikenakan sanksi perdata dan juga
sanksi pidana. Tindakan Hukum yang Dilakukan Konsumen atas Pelanggaran
Pencantuman Klausula Baku oleh Pelaku Usaha Dalam hal pelaku usaha melanggar
ketentuan pencantuman klausula baku dengan isi, letak, atau bentuk seperti telah
diuraikan di atas dalam dokumen atau perjanjian standar (baku) yang dibuatnya,
dapat dikenakan sanksi sebagai berikut: Sanksi Perdata:
a. perjanjian standar yang
dibuatnya jika digugat oleh konsumen akan berakibat batal demi hukum (void),
lihat Pasal 18 ayat 3 UUPK;
b. pelaku usaha yang pada
saat ini telah mencantumkan klausula baku, wajib merevisi perjanjian standar
yang digunakannya itu agar sesuai dengan UUPK, dengan batas waktu sampai
tanggal 20 April 1999 (Pasal 18 ayat 4). Sanksi Pidana Dipidana dengan pidana
penjara paling lama 5 (lima) tahun atau pidana paling banyak
Rp.2.000.000.000,00 (dua milyar rupiah) . Lihat Pasal 62 ayat 1 . Selain
berlaku ketentuan-ketentuan dari UUPK seperti diuraikan di atas, karena
perjanjian baku (standar) pada dasarnya adalah juga perjanjian, maka ketentuan
di dalam Buku III KUH.Perdata masih tetap berlaku. Ketentuan-ketentuan yang
penting antara lain:
a. Ketentuan tentang
keabsahan suatu perjanjian sebagaimana diatur di dalam Pasal 1320 KUH.Perdata
b. Ketentuan-ketentuan
tentang kerugian akibat breach of contract/non performance atau wanprestasi ,
sebagaimana diatur oleh Pasal 1243 KUH.Perdata
c. Ketentuan –ketentuan
tentang mengikatnya sebuah perjanjian, perjanjian tidak dapat ditarik kembali
dan harus dilaksanakan dengan itikad baik. Selanjutnya, berdasarkan Pasal 45,
Pasal 47 dan Pasal 48 serta di dalam Penjelasannya, konsumen yang merasa
dirugikan dapat melakukan tindakan hukum melalui :
1. Penyelesaian sengketa
di luar Pengadilan , yakni dengan cara-cara :
a. damai di antara kedua
belah pihak ; Para pihak yang bersengketa pada setiap tahap diusahakan untuk
menggunakan penyelesaian damai yang dilakukan oleh para pihak yang bersengketa
(pelaku usaha dan konsumen) untuk mencapai kesepakatan mengenai bentuk dan besarnya
ganti rugi tanpa melalui pengadilan atau Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen
(BPSK).
b. melalui Badan
Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK) sebagai pengawas terhadap pencantuman
klausula baku, yakni mediasi, atau konsiliasi atau konsiliasi .
2 . Penyelesaian melalui
pengadilan Penyelesaian sengketa konsumen melalui pengadilan mengacu pada
ketentuan tentang peradilan umum yang berlaku dengan memperhatikan ketentuan
dalam Pasal 45. Setelah berlakunya Undang-undang Telekomunikasi yang baru dan
Undangundang Perlindungan Konsumen, mengandung asas pembuktian terbalik dan
prinsip strict liability dapat membantu konsumen dalam menuntut ganti kerugian
dari PT. TELKOM sebagai penyelenggara jasa telekomunikasi. Tanggungjawab Pelaku
Usaha Atas Kerugian Konsumen yang Disebabkan Penggunaan Perjanjian Baku
Tanggung jawab pelaku usaha untuk memberi ganti kerugian terhadap konsumen
muncul karena adanya pelanggaran dari kewajibannya atau pelanggaran terhadap
larangan-larangan yang berlaku baginya, sebagaimana telah diatur oleh Kitab
Undang-undang Hukum Perdata, Undang-undang Perlindungan Konsumen dan
Undang-undang Telekomunikasi. Sebenarnya pelanggaran atau kesalahan yang
menimbulkan kerugian dapat dilakukan oleh kedua belah pihak, baik konsumen
sebagai Pelanggan maupun oleh PT.TELKOM sebagai pelaku usaha, namun dalam
tulisan ini akan difokuskan pada kesalahan atau pelanggaran yang dilakukan
pihak pelaku usaha (PT.TELKOM.Tbk.), baik yang disengaja maupun tidak karena
Pelanggan sering dalam posisi yang lemah. Undang-undang Telekomunikasi mengatur
tentang tanggung jawab penyelenggara telekomunikasi, dalam Pasal 15 ayat (1)
menyebutkan bahwa: “Atas kesalahan dan atau kelalaian penyelenggara
telekomunikasi yang menimbulkan kerugian, maka pihak-pihak yang dirugikan
berhak mengajukan tuntutan ganti rugi kepada penyelenggara telekomunikasi”
Penjelasan Pasal 15 ayat
(1) menegaskan bahwa: “Ganti rugi oleh penyelenggara telekomunikasi diberikan
kepada pengguna atau masyarakat luas yang dirugikan karena kelalaian atau
kesalahan penyelenggara telekomunikasi”
Selanjutnya, Pasal 15 ayat
(2) Undang-undang Telekomunikasi menyatakan bahwa: “Penyelenggara
telekomunikasi wajib memberikan ganti rugi sebagaimana dimaksud pada ayat (1),
kecuali penyelenggara telekomunikasi dapat membuktikan bahwa kerugian tersebut
bukan diakibatkan oleh kesalahannya atau kelalaiannya;
Berdasarkan Pasal 15 ayat
(2) tersebut di atas, konsumen tidak perlu membuktikan kesalahan pelaku usaha,
tetapi justru PT.TELKOM sebagai pelaku usaha diberi kesempatan untuk dapat
membuktikan bahwa dirinya tidak bersalah. Ketentuan Pasal 15 ayat (1) dan ayat
(2) Undang-undang Telekomunikasi menganut prinsip tanggung jawab mutlak.
No comments:
Post a Comment
Note: Only a member of this blog may post a comment.